Beberapa hari yang lalu, saya dibuat gelisah oleh tingkah pola anak - anak didik yang saat ini sedang berada di kelas 9. Bukan masalah nilai mereka yang jelek, bukan pula karena mereka tak santun pada guru. Anak - anak ini luar biasa, mereka sedang proses menuju gelar seorang hafidz, dan jangan diragukan bagaimana kemampuan mereka dalam matematika, mereka adalah anak yang luar biasa. Lalu apakah penyebab kegelisahan saya ? Gelisah saya karena mereka belum memiliki pertahanan yang kuat dalam menolak ajakan teman untuk bolos dan juga kabur dari sekolah. Mereka kerap sekali bolos sekolah hanya karena tidur di pondok, ya mereka adalah para santriwan. Kerap sekali kabur dan pulang sebelum bel pulang berbunyi, tak lain karena diajak teman untuk makan di luar sana. Telusur demi telusur saya menemukan suatu keganjalan dalam diri mereka. Mereka bukan anak - anak yang lemah banyak kekurangan yang kemudian bisa di bully kapan dan dimana pun. Mereka adalah sosok yang memiliki pribadi yang kuat. Namun, di sisi lain mereka ada beberapa teman yang berkuasa dan main ancaman ketika tak mau diajak. Alhasil telusur itu benar adanya, diantara teman mereka ada anak - anak yang berkuasa dan suka main pukul bahkan sebagai provokator dalam pengeroyokan sesama teman. Ini yang menjadi hati saya terasa pahit dan miris, sebuah kondisi yang menekan sana sini di saat mereka harus memiliki kemerdekaan menikmati hidup dalam dunia remaja mereka.
Dengan adanya komunikasi antara saya dan mereka yang saya anggap sebagai Bos dalam pertemanan anak - anak, tentu saja komunikasi awal saya tak menekan supaya mereka manut. Namun komunikasi dua arah menjadi pilihan saya, dan akhirnya mereka semua termasuk Bosnya mengakui alasan mereka bolos dan kabur dari sekolah. Dengan berbagai alasan yang saya kategorikan sebagai masalah pada dunia mereka, akhirnya kami dalam dialog mencari kesepakatan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Akhirnya, tibalah beberapa peraturan dan perjanjian bersama mereka. Peraturan dan perjanjian yang mungkin terkesan menekan dan memaksa mereka. Tapi selama kurang lebih dalam 4 hari mereka berusaha mematuhi aturan tersebut dan berharap ini bisa menjadi kebiasaan baik mereka dan kemudian mereka menjadi pribadi yang kuat, tak mau lagi diajak bolos dan kabur dari sekolah.
Inilah yang saya katakan bahwa mereka butuh paksaan. Entah berupa peraturan yang harus di tegakkan. Atau mungkin berupa perjanjian - perjanjian yang menekan dan memaksa mereka untuk menjadi sosok yang baik. Mereka masih labil, dunia mereka masih penuh dengan uji coba, mereka tak tahu apa dan bagaimana akibat akan semua perilaku mereka selama ini. Mereka takut akan ancaman teman, mereka tak mampu melawan untuk kebenaran. Dengan peraturan dan perjanjian, mereka dipaksa untuk berani bahkan mampu melawan teman - teman mereka yang selalu menjadi virus kenakalan. Dari semua ini tentu mereka butuh pengawalan dalam keseharian, pengawalan di sekolah, pesantren dan rumah. Semua pihak yang berada di sekolah, pesantren dan rumah harus kompak dan selaras, karena anak - anak butuh pengawalan ketat. Sekali lagi mereka adalah remaja, masa yang labil mudah ikut sana dan sini, takut dia yang kuat dan tak punya nyali untuk melawan balik teman yang main ancaman. Membentuk mereka menjadi singa yang kuat akan pendirian dan tak mudah terpengaruh oleh teman yang negatif.
Akhirnya, salam perjuangan ... Jadilah pribadi yang bermanfaat di mana pun kita berada.