Pagi ini masih di fokuskan pada anak - anak yang datang terlambat sekolah. Mulai dari kelas 7 hingga kelas 9 terkumpul menjadi satu di halaman untuk menerima sanksi, berikut dengan tas sekolah mereka pun terkumpul jadi satu di ruangan guru. Seperti biasa, di saat anak - anak menerima dan melaksanakan sanksi berupa baca istighfar 1000 kali di halaman, kami para guru piket mulai menggeledah tas anak - anak yang terlambat. Diantara tas - tas yang kami buka, ada satu yang membuat kami kaget yakni ditemukan alkohol 70 % sebanyak 1 botol. Pikiran kami saat itu negatif, tak ada lain pasti alkohol itu dipakai sebagai bahan campuran minuman anak tersebut. Prasangka kami bukan tanpa dasar tapi kami sadar kami sedang menghadapi anak - anak usia remaja yang labil. Usia yang harusnya mereka ada pendampingan dari orang tua namun tidak mereka dapat karena adanya perceraian. Sementara anak saat ini tinggal bersama paman, selanjutnya paman menitipkan dia pada sebuah asrama. Telusur demi telusur ada titik kejelasan bahwa dia memang benar - benar memakai alkohol tersebut untuk di campur pada minumannya. Alkohol dia minum dengan tujuan supaya bisa fly, tak ada beban, bisa santai. Ada sorot mata kesedihan dan kemarahan yang kami lihat. Kesedihan dan kemarahan yang terpendam dan tak bisa terucap akhirnya terlampias pada minuman keras yang murah dan meriah. Kesedihan dan kemarahan akan sebuah kondisi hidup dalam sebuah keluarga, sedih kenapa orang tua harus berpisah, sedih karena saat ini tak tempat untuk berkeluh kesah, bercanda ria bahkan untuk sekedar merengek. Kemarahan karena merasa diri terbuang, merasa diri tak disayang lagi sama Ayah Bunda. Ayah Bunda sudah disibukkan dengan dunianya masing - masing, dengan keluarga barunya masing - masing. Sementara dia bersama adik kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar harus hidup sendiri di sebuah asrama. Keyakinan kami kesedihan dan kemarahan yang dia pendam selama ini tertuju kepada orang tuanya. Karena dia memakai alkohol sebagai minuman fly ini sejak kelas 6, selang beberapa bulan dari perceraian kedua orang tuanya.
Ayah Bunda, perceraian mungkin merupakan satu - satunya solusi buat sepasang suami istri yang sedang bermasalah. Dengan bayangan setelah bercerai maka hidup bisa lebih baik dan bahagia. Namun pada kenyataannya, semua serba terbalik. Kondisi rumah tangga yang baru mungkin bahagia bak pengantin baru yang lengkap dengan honeymoonnya. Mungkin juga dengan bercerai, akan ada kebebasan kerja dan kerja, fokus bekerja siang malam tanpa ada hiruk pikuk yang namanya keluarga. Namun, saat semua harapan terbayang, sempatkah kita berpikir akan harapan - harapan dari anak - anak kita. Ayah Bunda, tak salah jika memang harus bercerai, namun tetap berpikirlah bahwa anak - anak masih butuh orang tua, butuh pendampingan, butuh sosok yang bisa memanjakannya. Kalau mungkin ada yang berpikir dititipkan ke paman karena statusnya bisa menjadi orang tua, apakah pernah berpikir, bisakah anak - anak terbuka dengan pamannya? Ayah Bunda, anak akan lebih dekat dengan kita sebagai orang tua karena memang anak adalah darah kita. Ada pertalian dan ikatan yang sangat erat. Apalagi ketika kasih sayang orang tua kepada anak maka pertalian semakin kokoh. Ada banyak hal yang ingin di ungkap di sini terkait perceraian, karena kemyataannya perceraian hanyalah sebuah proses melampiaskan ego masing - masing.
Ayah Bunda, mari bersama kita ingat tujuan pernikahan kita. Bukankah di dalamnya ada tujuan untuk memperbanyak keturunan? Ketika itu terwujud, ada janin yang tumbuh di rahim kita, Bunda. Ayah senantiasa menjaga dan selalu mengecup perut Bunda hanya untuk mendengar detak jantung bahkan tendangan kaki mungil dari balik kulit perut Bunda. Ketika lahir, masya Alloh, kebahagiaan yang luar biasa tergambar dalam wajah - wajah dan aktivitas kita. Ketika dia berumur 3 tahun, lucunya Ayah Bunda... tak ada lelah, tak ada amarah semuanya serba bahagia dan selalu ada canda tawa. Seiring itu ada harapan - harapan besar, kelak ketika engkau besar nak, jadi dokter ya ... Ah, ketika mengingat itu semua, ada senyum seakan kembali ke dunia lampau.
Namun, semua itu Anda rusak dengan sebuah perceraian. Mungkin Anda bahagia dengan suami atau istri baru, Namun coba tengok anak Anda yang lalu, bahagiakah dia? Tidak ... tidak. Bahkan kini dia tumbuh menjadi pribadi yang lemah, cengeng dan labil, tapi itu bukan salah mereka. Secara tidak sadar, Ayah Bundalah yang membentuk anak menjadi sosok yang lemah tanpa pendirian. Harapan - harapan yang dulu sempat terajut, kini menjadi benang - benang kusut yang susah di urai. Kini, semuanya menjadi ruwet dan serba sulit. Dan anak yang dulu kita timang - timang, kini menjadi musuh buat kita yang dulu sempat menjadi The first of love...
Mari bersama kita menjadi orang tua yang selalu ada buat anak - anak kita. Mereka butuh kita, mereka ingin di manja, dimarah bahkan mereka selalu merindukan pelukan kita. Pelukan kita kepada anak tak bisa diganti oleh siapa pun, pelukan kasih sayang penuh dengan kehangatan. Ada rasa nyaman dan aman ketika bersama Ayah Bunda. Mari bersama kita renungkan dan berdoa supaya anak - anak kita menjadi pribadi yang kuat yang tak mudah hanyut oleh arus pergaulan bebas... Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar