Edisi Jumát, 23 Mei 2020
8 Tahun Pernikahan
Oleh, Umi Maisyaroh
Delapan tahun tak terasa pernikahan aku dengan mas Fendik. Banyak kisah yang terukir di sana. Aku dinikahi oleh seorang duda beranak satu, Iya dia adalah suamiku. Aku ikhlas dan terima dia seorang duda, namun aku tak mau menerima anaknya. Meski anaknya tinggal bersama mantan istri, aku masih ada rasa cemburu. Aku tak mau di duakan meski dengan seorang anak kecil. Apalagi anak yang terlahir dari rahimku, hasil pernikahan aku dengan mas fendik, jangan sampai di nomorduakan dengan anak yang di sana. Kejam diriku, tapi itulah aku. Belum lagi keluarga mas Fendik yang terkesan awal tak suka sama aku, maklum lah aku adalah perawan tua waktu itu. Aku menikah di usia yang sudah kepala tiga, 32 tahun waktu itu. Dengan alasan tak ada uang, keluarga tak mampu, mas fendik seorang duda, pernikahanku terasa ambyar. Bagaimana tidak, keluarga suami waktu itu sama sekali tak merayakan kegembiraan atas pernikahan kami. Hanya berbekal nasi gurih dan bubur merah, di adakan kenduri 6 orang sebagai doa berangkat ke KUA, itu aja.
Meski perawan tua, jujur di hati kecil yang paling dalam, aku ingin sekali dirayakan di keluarga suami, meski tak mewah, minimal ada acara unduh mantu. Meski sedikit tua, tapi aku perawan, aku ingin dimuliakan di hari istimewaku. Namun itu semua hanya mimpi yang sekedar bunga tidur, tak pernah menjadi kenyataan. Itulah sebabnya, aku sedikit tak suka dengan keluarga suami. Tak ada yang menyuarakan hatiku, kalau aku masih perawan dan ingin diberlakukan selayaknya perawan - perawan lain. Sementara, adik suami yang menikah setelah aku, dirayakan dengan pesta lumayan ramai. Banyak tamu undangan dan tentunya biaya pun habis banyak, perkiraanku 20 jutaan. Berikutnya anak angkat mertuaku yang janda dan menikah untuk kedua kalinya pun, dirayakan meski sekedar unduh mantu. Lha aku ? Sekian tahun aku tak ikhlas bahkan hari ini pun aku masih belajar dan berusaha untuk meraih ikhlas itu. Sampai pernah ku bilang sama suami, "Tak apa sekarang gak ada iring - iring manten, yang penting entar kalau aku mati tolong diiring - iring ya .."Sakit hati ini. Saat ini pun, air mata deras mengalir karena semuanya memang sangat mengecewakan aku. Ibarat kata, sudah dapat duda, tak kaya, keluarga tak suka pula sama aku.
Tapi aku selalu berusaha untuk sadar, bahwasanya dia yang selama ini aku cari, aku nanti, selalu tersebut dalam doa - doaku, Selalu dalam angan - angan, selalu hadir dalam canda tawa serta curhatan hati kepada teman senasib. Teringat pula, aku duluan yang nyamperin dia ke rumahnya waktu itu. Iya, itu semua perjuangan gadis dalam menjemput jodohnya. Hampir dengan segala cara hingga akhirnya, jodoh adalah suamiku saat ini. Kalau di tanya, menyesal dapat dia? Iya, sangat. Tapi penyesalan ini ibarat nasi yang berubah jadi bubur, ya ... terlanjur basah nyebur sekalian. Dengan berharap, semoga penyesalan ini kelak berubah menjadi mawar merah yang mekar nan harum baunya.
Dengan segala upaya, terus kulanjutkan perjalanan bahtera rumah tanggaku. Hingga kemudian lahir si baby yang imut, cowok ganteng dan semoga sholeh. Bersama dia aku selalu menghibur diri dan menguatkan hati. Dia tak mungkin aku pisahkan dengan ayahnya. Dan seiring waktu aku juga gak tega meyuruh suami menceraikan aku. Bagaimana pun juga, dia sudah pernah jatuh, masak iya aku jatuhkan dia lagi pada lubang yang sama. Gak tega. Pejalanan kami sekarang bertiga, ada tawa yang mampu menyusur hati yang yang sudah keruh. Ada bahagia yang menyeruak dari wajah yang lama di rundung kecewa. Yang pasti, perjuangan akan terus berlanjut dan belajar menikmati.
Awal pernikahan, suami bekerja sebagai salesman salah satu pabrik rokok. Jujur hati kurang ikhlas. Dan ada rasa malu kepada anak - anak didik aku,karena aku adalah seorang guru di madrasah. Tapi itu adalah kesukaan suami, ya sudah lanjut. Karena suami merasa dirinya menyatu sebagai sales rokok maka tak mungkin aku menyuruh dia berhenti. Apalagi tak ada keahlian lain yang dimiliki. Tak apalah, tapi di hati ada sebuah rencana yang harus segera terwujud. Yakni, harus memiliki pekerjaan yang kedua, sebagai persiapan jika kemudian hari ada kelonggaran di hati suami dan bisa aku desak untuk keluar dari sales rokok tersebut. Mulai aksi, pertama kali kami berencana mau bisnis keripik. Dan ternyata rencana itu di sambut baik oleh paklek yang kebetulan ada di kalimantan. Dia siap menerima keripik dari jawa dan akan di ecer di kalimantan. Ngebayangin, wow ... pasti hasilnya luar biasa. Bertekad, pinjam modal di bank sebesar 15 juta, total keripik yang kami kirim ke kalimantan senilai 9 juta. Pastinya, akan berlipat 2 kali lipat ini nanti, membayangkan hasil bisnis yang sangat menggiurkan. Keripik berangkat dan kemudian kami menunggu hasil penjualannya.