Bincang - bincang mengenai anak - anak tak ada habisnya. Karena kehidupan anak begitu ramai dan sangat seru. Mulai dari kehidupan yang membuat kita semua tersenyum hingga pada kejadian - kejadian yang membuat hati terasa sesak. Mungkin diantara kita hati begitu luas memberikan pemakluman ketika kenakalan - kenakalan terjadi pada anak- anak bawah lima tahun, karena kita sadar bahwa anak-anak seusia balita kenakalan terjadi karena memang asli karena ketidak tahuan dan masih fase tumbuh kembang organ dan mental anak-anak. Namun bagaimana ketika kenakalan terjadi pada usia remaja ? Usia dimana anak - anak sangat paham dan mudah diberi penjelasan - penjelasan. Namun usia remaja merupakan usia gengsi yang paling tinggi. Mereka para remaja akan sangat merasa rendah diri ketika di suruh - suruh atau mungkin mereka harus belajar dari orang lain yang mungkin lebih baik darinya. Bahkan kemungkinan besar para remaja akan sangat penasaran akan dunia baru tanpa mengenal akibatnya. Mereka akan sering melanggar peraturan - peraturan yang seharusnya dipatuhi, semua itu terjadi karena jiwa pencarian jati diri yang terus meningkat, membuat mereka berjiwa mencoba dan ingin mencoba lagi.
Dan hal tersebutlah yang kemudian membuat kita sebagai orang dewasa merasa geregetan hingga memuncak pada emosi yang meledak. Bukan sebuah keanehan, karena kita sebagai orang dewasa lebih sering menuntut anak-anak menjadi baik, pribadi unggul dalam kebaikan bisa terwujud dalam waktu yang instan. Bagaimana mungkin ? Iya itulah kenyataan dalam dunia pendidikan, instan atau cepat adalah sebuah harapan yang seakan menutupi segala proses.
Kemudian ada dialog diantara kami selaku pendidik yang menemui titik jenuh akan tuntutan sebagai pendidik dan juga dengan kenyataan yang ada di depan mata. Sehingga dalam dialog kami ada sebuah ungkapan bahwa seorang pendidik perlu juga berperan sebagai antagonis. Lha ? Maksudnya, antagonis dalam konsep pendidikan yang kami pahami dalam dialog tersebut, antagonis merupakan sikap stressing, keras, menakuti dan ada ancaman - ancaman yang kemudian bisa membuat anak-anak menjadi takut sehingga anak-anak menjadi pribadi yang penurut. Sehingga pada sifat antagonis ini tidak melarang akan adanya pukulan dalam mendidik, berkata kasar bahkan sampai melukai dengan tujuan anak anak kapok.
Jujur dalam dialog tersebut, kami sebagai pendidik yang sudah berpuluh tahun lamanya berkecimpung di dalamnya merasa antagonis bukanlah sifat pendidik. Bagaimana pun juga, seorang pendidik harus mampu menjadi contoh. Bahkan mau tidak mau, ketika pendidik merupakan pilihan profesi kita, maka seluruh gerak dan ucapan kita akan secara otomatis ditiru oleh anak-anak. Apalagi jika peran antagonis merupakan santapan setiap hari. Maka lambat laun, peran antagonislah yang akan dipilih anak - anak dalam mengarungi hiruk pikuknya kehidupan. Sehingga kekerasan, main pukul dan lain sebagainya akan menjadi budaya anak - anak kita.
Kalau seperti itu adanya, kenapa bukan peran protagonis yang kita pilih. Peran dimana anak-anak diperlukan dengan menghargai mereka sebagai pribadi yang masih butuh bimbingan ekstra. Butuh motivasi dan butuh lingkungan yang selalu mendukung kegiatan positif mereka. Mendidik dengan lembut akan melahirkan pribadi yang bijaksana. Mendidik dengan senyuman akan melahirkan pria yang ramah. Anda suka yang mana ?
Yuuuks ... Pilihlah metode yang terbaik. Karena kebaikan yang kita tanam hanya ini kelak akan kita panen dengan kuantitas dan kualitas yang lebih tinggi.
Selamat rehat ... Semoga tidur kita menjadi bekal buat sebarkan kebaikan kebaikan esok ... Aamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar