Beberapa hari yang lalu, teman sekantor bercerita panjang lebar terkait kehidupan rumah tangganya yang baru ia bangun beberapa tahun ini. Dalam ceritanya, dia mengatakan bahwa ekonomi nya carut marut alias serba kekurangan. Saya pun maklum, karena dia seorang guru sukwan di sekolah swasta. Pun bayarannya tak sampai di angka 500 ribu. Kondisi ini kemudian semakin parah ketika mertua yang dia ikuti untuk tinggal mulai ikut campur dan semua keluarga istri seakan menuntut dirinya untuk memiliki gaji yang lebih besar dan tak kalah sama gaji saudara - saudara lain dari pihak istri. Tentu saja dengan kondisi seperti ini menjadikan teman saya semakin tertekan dan menjadikan dirinya mengeluh setiap saat. Seperti tak ada cahaya dalam dunianya. Gelap ... ya gelap. Dia hanya murung dan muka serasa ditekuk dengan semua kondisi buruk yang lagi mendampingi hidupnya.
Kisah teman tersebut tak terhenti sampai di situ saja. Terus bersambung hingga akhirnya, nama mertua yang notabene orang tua istri dan sudah resmi menjadi orang tua sendiri setelah akad nikah dulu terucap, mulai ikut - ikutan dicemarkan sama dia. Mertua yang selalu mencemoohlah, sering bentak - bentaklah, bahkan dari ceritanya ... mertua seperti tak menganggap dia seperti anaknya. Ah, mertuaku ... terima kasih telah kau berikan anakmu kepadaku dengan harga tak mahal ! Itulah yang harusnya terucap dari seorang menantu. Tapi, apalah buat ... semua serba terbalik dan sepertinya sengaja dibalik. Hmmmm ...
Adakah yang senasib dengan teman saya itu ? Ah, mudah - mudahan tidak ya. Tapi pemirsa, sebenarnya kalau saya memandang dari sudut mertua. Tentu saja sikapnya yang menuntut itu tak bisa disalahkan 100%. Lho ? Bukan main bela membela sih, tapi cobalah kita berada di posisi beliau, orang tua mana yang tega melihat anaknya menderita dengan uang belanja kurang dari 500 ribu tiap bulannya, tentu tidak ada kan? Begitulah yang dirasa mertua dari cerita di atas, semua yang telah terucap kepada menantunya tak lain hanyalah ungkapan tersirat akan sebuah kasih sayang kepada anaknya sendiri. Oleh karena itu para menantu, pahamilah mereka, mereka tetap menganggap menantu adalah anak. Namun, kemungkinan besar mertua tak mampu berucap dengan kalimat yang pas, yang sesuai dengan selera menantunya. Miliklah hati yang luas seluas samudra. Lihatlah semua keburukan dengan mata hati yang positif. Jadikan semua yang diucap mertua menjadi cambuk motivasi yang memecut semangat untuk terus ikhtiar dan ikhtiar. Mohonlah doa dari mertuamu. Bukankah mertua adalah orang tuamu juga. Dan doa orang tua adalah mustajab / terjawab. Ikhlaslah akan semua perilaku mertua kepada dirimu, wahai menantu. Dan terakhir, yaqinlah bahwa Alloh SWT akan menjawab semua ikhtiar kalian para menantu. Tak selamanya kesusahan ada pada hidup kita, asal kita tetap ikhtiar dengan maksimal, Insya Alloh ...
Kisah teman tersebut tak terhenti sampai di situ saja. Terus bersambung hingga akhirnya, nama mertua yang notabene orang tua istri dan sudah resmi menjadi orang tua sendiri setelah akad nikah dulu terucap, mulai ikut - ikutan dicemarkan sama dia. Mertua yang selalu mencemoohlah, sering bentak - bentaklah, bahkan dari ceritanya ... mertua seperti tak menganggap dia seperti anaknya. Ah, mertuaku ... terima kasih telah kau berikan anakmu kepadaku dengan harga tak mahal ! Itulah yang harusnya terucap dari seorang menantu. Tapi, apalah buat ... semua serba terbalik dan sepertinya sengaja dibalik. Hmmmm ...
Adakah yang senasib dengan teman saya itu ? Ah, mudah - mudahan tidak ya. Tapi pemirsa, sebenarnya kalau saya memandang dari sudut mertua. Tentu saja sikapnya yang menuntut itu tak bisa disalahkan 100%. Lho ? Bukan main bela membela sih, tapi cobalah kita berada di posisi beliau, orang tua mana yang tega melihat anaknya menderita dengan uang belanja kurang dari 500 ribu tiap bulannya, tentu tidak ada kan? Begitulah yang dirasa mertua dari cerita di atas, semua yang telah terucap kepada menantunya tak lain hanyalah ungkapan tersirat akan sebuah kasih sayang kepada anaknya sendiri. Oleh karena itu para menantu, pahamilah mereka, mereka tetap menganggap menantu adalah anak. Namun, kemungkinan besar mertua tak mampu berucap dengan kalimat yang pas, yang sesuai dengan selera menantunya. Miliklah hati yang luas seluas samudra. Lihatlah semua keburukan dengan mata hati yang positif. Jadikan semua yang diucap mertua menjadi cambuk motivasi yang memecut semangat untuk terus ikhtiar dan ikhtiar. Mohonlah doa dari mertuamu. Bukankah mertua adalah orang tuamu juga. Dan doa orang tua adalah mustajab / terjawab. Ikhlaslah akan semua perilaku mertua kepada dirimu, wahai menantu. Dan terakhir, yaqinlah bahwa Alloh SWT akan menjawab semua ikhtiar kalian para menantu. Tak selamanya kesusahan ada pada hidup kita, asal kita tetap ikhtiar dengan maksimal, Insya Alloh ...
Lain minggu lain hari, beda pula ceritanya. Dua hari kemarin, tepatnya hari kamis. Secara tiba - tiba seorang ibu yang jauh diseberang sana berkirim pesan lewat whatshapp. Panjang cerita di sana, intinya ada ketidakcocokan dengan ibu kandung sendiri terkait ekonomi atau keuangan yang selama ini selalu dia kirim ke ibunya. Seorang ibu yang bekerja di negeri orang demi mencari uang guna biaya pendidikan anaknya yang sudah SMP. Selama dirantau, anak ibu ini dititipkan ke neneknya. Dalam perjalanan hidup di rantau, nenek selalu dikirimi uang buat biaya anaknya. Namun, nenek rupanya berkarakter keras dan hemat sehingga uang saku yang diberikan kepada cucunya dinilai sangat kecil dan ini diperhebat lagi oleh sang anak yang merengek dan menangis di telphon, mengadu perihal nenek yang bersikap tak sesuai dengan keinginannya. Alhasil nenek selalu dipersalahkan dan menilai uang kiriman selalu habis buat kebutuhan pribadi nenek. Ah, entahlah ... saya membaca pesan dalam whatshapp yang panjang lebar terasa sesak dan pilu juga. Zaman sekarang, bukan anak -anak saja yang perlu di ajarin bagaimana cara menghormat orang tua. Namun, anak yang juga berlabel orang tua sudah lupa atau mungkin belum terkenalkan akan sebuah konsep hormat orang tua. Anak sudah berani bercerita keburukan orang tua sendiri kepada orang lain tanpa rasa malu. Seperti hilang semua jasa orang tua kepada kita sebagai anak
Orang tua adalah orang yang berjasa luar biasa akan kehidupan kita. Orang tua adalah orang yang paling besar sayangnya kepada kita. Kita terlahir sudah tersiapkan bahkan berlebih kasih sayang terhadap kita. Merawat dan mendidik dengan bersusah payah. Mungkin ketika itu ada keterbatasan ekonomi, harus pinjam sana sini untuk memenuhi kebutuhan kita. Mungkin juga penuh dengan peluh ketika kita merengek minta sesuatu. Disaat lezatnya menikmati makan mungkin kita tanpa merasa bersalah kita BAB di pangkuan atau di depannya. Ah, kita sungguh merepotkan waktu itu. Lalu, sekarang ketika kita sudah berkeluarga dan memiliki anak, masih juga kita merepotkan orang tua kita dengan menitipkan anak - anak kita kepada orang tua. Ah, kita !
Ayolah, kita sebagai anak lebih banyak intropeksi diri, janganlah egois dengan menyalahkan orang tua saja. Berpikirlah dan ingatlah masa lalu. Dan bijaklah dalam mengarungi dunia.
Ayolah, kita sebagai anak lebih banyak intropeksi diri, janganlah egois dengan menyalahkan orang tua saja. Berpikirlah dan ingatlah masa lalu. Dan bijaklah dalam mengarungi dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar